Cerpen: Goresan Tinta Laskar

Sep 1, 2017

Aku tak menyangka itu akan terjadi. Mengapa beliau yang semula bersemangat membela Republik ini, sekarang malah terang-terangan berkhianat. Sungguh aku tak percaya. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Pemimpin kami, komandan Wheikreis III MBKD Yogyakarta, Letkol Ventje Samuel, membacakan naskah proklamasi di Makassar. Proklamasi yang mengawali pemberontakan besar-besaran di timur Indonesia. Aku benar-benar tak tahu apa yang terjadi di sini. Apa yang dilakukan mereka sehingga menghianati Republik ini. Aku tak tahu mengapa aku di sini. Di mana pejuang lainnya? Mengapa hanya aku yang ada di sini?

Sang surya mulai menampakkan dirinya. Ternyata semalam hanyalah mimpiku saja. Aku benar-benar takut itu akan terjadi di negeri ini yang mempunyai integrasi tinggi. Itu karena kami sangat menjunjung tinggi Pancasila sebagai dasar negara kami, Persatuan Indonesia. Aku membuka mataku untuk melihat Indonesia hari ini. Indonesia yang telah di ambang kehancuran. Tak lama lagi kiranya Republik ini telah musnah. Belanda telah menguasai sebagian besar wilayah termasuk Ibukota, Yogyakarta. Para pemimpin bangsa satu per satu telah tertangkap dan diasingkan entah dimana. Untungnya pemerintahan darurat telah dibentuk jauh di Sumatera sana. Indonesia benar-benar diambang kehancuran sekarang, tapi kami masih ada, kami belum kalah, dan kami adalah Indonesia yang merdeka.

Bermula dari Perjanjian Renville Desember 1947. Wilayah Indonesia yang semula hanya diakui Jawa, Sumatera, dan Madura pada perundingan Linggadjati, terpaksa dipersempit lagi akibat serangannya secara tiba-tiba pada Juli 1947. Republik tidak lagi menguasai keseluruhan Jawa dan Sumatera. Negara-negara boneka mulai dibentuk saat itu, mengharap bisa menghidupkan kembali Hindia Belanda yang sudah dihancurkan serdadu nippon. Kejatuhan kabinet Amir Syariffudin menambah bobroknya bangsa ini. Aksi gencatan senjata akhirnya dilakukan berkat PBB melalui Komisi Tiga Negara, Belgia, Australia, dan Amerika. Ribuan tentara dari Divisi Siliwangi Jawa Barat terpaksa mundur ke Jawa Tengah. Sampai akhirnya Belanda sendiri menghianati Renville. Mereka melakukan serangan lewat agresinya untuk kedua kalinya pada Desember 1948. Tak tanggung-tanggung, tujuan mereka kali ini ialah untuk menghapuskan Indonesia secara de facto. Beruntung para jendral telah menyiasati hal ini dengan membentuk Markas Besar Komando Djawa (MBKD) yang menjadikan jawa sebagai medan gerilya yang sangat luas. Namun tetap saja, hancur. Republik tidak dapat banyak mempertahankan. Kekurangan amunisi juga keahlian tentara negara yang baru dibentuk beberapa tahun lalu cukup menjadi alasan. Bahkan ibukota telah jatuh ke tangan Belanda. Beruntung kabarnya telah dibentuk pemerintahan darurat di Sumatera sana. Tentu aku tidaklah puas atas nasib yang menimpa bangsa ini, tanah air ini, bumi tempat kelahiranku ini.

Aku beranjak dari tempat tidurku yang hanya beralaskan lantai ubin di rumah Pak Laso, penduduk Desa Losari di tepi timur Yogyakarta, distrik bersih yang belum dikuasai KNIL. Berkat strategi perang gerilya, tentara-tentara Belanda hanya dapat menguasai jalanan raya besar saja. Tak lupa aku membawa buku catatanku sekaligus buku harianku yang aku buat setahun lalu saat aku masuk menjadi anggota tim medis untuk gerilyawan. Sangatlah sederhana, hanya dari tumpukan kertas buram yang dipotong menjadi dua bagian dan direkatkan dengan lem perekat. Tak lupa aku membawa pasangannya pula, sebatang pena bertinta hitam. Aku mulai menggoreskan penaku di atas kertas buram itu.

1 Februari 1949/ 5.45 : Tak bisakah aku mempertahankan tanah airku ini? Semuanya telah hancur, habis dikuasai Londo. Adakah kesempatan bagi kami untuk memperbaiki semua ini? Tuhan, tolong kami. Manusia lemah tak berkuasa.


Hari yang sangat melelahkan. Sekarang kami disini tak mengenal ahad, hari yang biasanya untuk bersantai. Tidak ada waktu lagi untuk sekadar bergurau sambil minum teh sekarang. Lusa adalah waktu kita untuk menyerang. Kami bersatu membela Indonesia yang diambang kehancuran. 1949, kami harus buktikan pada dunia bahwa Indonesia masih ada. Sementara TNI yang tersisa mempersiapkan senjata dibantu warga kampung losari yang akan ikut berjuang bersama kami. Aku dan anggota Palang Merah Indonesia yang lain juga menyiapkan peralatan medis dan obat-obatan. Aku yakin kelak Indonesia akan menjadi negara yang maju. Tandu ini akan menjadi saksi bisu perjuangan kami mengembalikan Indonesia. Tak kusangka Kapten Soediro menuju tengah lapangan dan memberikan instruksi seraya membakar semangat gerilyawan.

“Hancur, tanah air kita telah diserang KNIL dua bulan lepas. Untuk yang kedua kalinya, kita harus kembali kehilangan wilayah. Para pemimpin bangsa telah tertangkap dan diasingkan entah di mana. Ibukota telah jatuh ke tangan Belanda. Bulan lalu, Belanda mengumumkan pada dunia bahwa TNI sudah kalah, Indonesia telah kehilangan eksistensinya. Tugas kita semua sekarang adalah menyerang kota Yogyakarta sebagai ibukota untuk menunjukkan pada dunia bahwa kita masih ada. Kita akan menguasai Yogyakarta selama beberapa jam saja kemudian mundur. Surat Perintah Serangan Umum 1 Maret telah turun. Para petinggi militer telah memutuskannya seminggu lalu. Tugas kita hanyalah melakukannya demi eksistensi Indonesia ke depan. Kita akan berangkat ke Kalasan besok pagi guna bertemu dengan kompi lain. Serangan dari timur akan dipimpin oleh Letnan Kolonel Ventje Samuel. Sementara PMI akan membangun markas darurat di garis belakang serangan. Paham?” jelas kapten Soediro membakar semangat para laskar pejuang.

“Siap, paham.”

“Sekarang atau mati kemudian!” pungkasnya mengakhiri.

27 Februari 1949/ 17.30 : Lusa kita akan menyerang ibukota. Menunjukkan pada dunia bahwa kita masih ada. Memperjuangkan martabat Republik kita. Bagai cerita tanpa koda.


Mentari seakan lenyap ditelan bumi Kalasan. Sementara prajurit masih menyiapkan senjata dan pelurunya untuk esok. Kita akan menyerang Yogyakarta dari timur esok hari. 1 Maret 1949 nampaknya akan menjadi hari bersejarah bagi bangsa kita Indonesia. Masih teringat dalam benakku perkataan kapten Soediro kemarin. Kita haruslah menjaga persatuan dan kesatuan untuk memenangkan pertarungan ini. Pertarungan yang sangat menentukan nasib bangsa kedepannya. Serangan akan dipimpin oleh Letkol Ventje Samuel. Langit mulai lebih gelap dari sebelumnya, hembusan angin malam semakin kuat menerpa tenda-tenda prajurit, markas sementara kami di Kalasan. Tak luput jua angin menerpa petromax yang kurang minyak. Sekarang kami semua dikumpulkan di tengah tanah lapang dengan penerangan seadanya. Sosok pemimpin yang akan mengomando serangan besok muncul di depan kami. Dia ialah seorang Letnan Kolonel kelahiran Sulawesi Selatan mantan laskar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi bentukan nippon. Ia juga salah satu komandan Wheikreis III MBKD untuk wilayah Yogyakarta.

“Perhatian. Saudara-saudara sebangsa setanah air, laskar pejuang bangsa gerilyawan Republik. Kita tahu bahwa negeri ini telah diserang kaum tak bermoral Belanda. Mereka ingin mendirikan kembali Hindia-Belanda di bumi pertiwi ini. Mereka telah melakukan tipu daya pada dunia, mengatakan Indonesia telah tiada. Dengarkanlah wahai para pejuang bangsa. Esok kita akan menyerang ibukota dari timur. Tepat pukul enam setelah sirine berbunyi, kita langsung akan melakukan serangan. Taktik gerilya akan diterapkan karena kurangnya amunisi. Pasukan akan dibagi dalam beberapa kompi agar daerah serangan bisa meluas di timur ibukota dan KNIL akan semakin kewalahan mengatasinya. Serangan ini diharuskan bisa berhasil menguasai Yogyakarta dalam beberapa jam untuk menunjukkan pada dunia atau setidaknya delegasi UNCI yang menginap di ibukota. Sementara tenaga pembantu untuk pasokan makanan akan diambil oleh laskar rakyat. Laskar PMI wilayah Magelang dan Klaten serta Yogyakarta bagian timur akan mendirikan tenda di garis belakang serangan yaitu di Kembang. Beberapa lainnya akan menyusup minimal dua orang per kompi untuk ikut melakukan serangan. Ingatlah selalu pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Walaupun kita berbeda, dari satuan berbeda, Hizbullah, PETA, Heiho, Seinendan, Keibodan, dan dari tempat yang berbeda, Magelang, Klaten, Jawa Timur, Jawa Barat, bahkan saya sendiri dari Sulawesi, namun darah kita satu, Indonesia. Sekian, semoga dapat dipahami. Merdeka!” jelas Letkol Ventje singkat mengomando sebelum serangan besok.

“Merdeka!!” teriak para gerilyawan bersemangat untuk serangan esok pagi.

28 Februari 1949/ 20.00 : Dialah Ventje Samuel. Pemimpin karismatik yang telah membakar semangat kami. Inilah kami pejuang gerilya Republik. Pertaruhkan hayat dalam sukma yang suci.


Dinginnya malam tak menyurutkan semangat perjuangan kami. Kami laskar palang merah bersama pengawalan dari beberapa kompi TNI, berangkat menuju Kembang mendahului datangnya fajar. Sementara beberapa kompi lain sudah menyebar ke berbagai distrik-distrik bagian timur Sleman. Detik berganti detik akhirnya kami semua sampai di Distrik Kembang. Segera kami bangun bersama tenda darurat PMI. Tak lama kemudian sirine berbunyi memekakan telinga setiap orang disana. Tak ada yang tau darimana bunyi penging itu berasal kecuali laskar gerilya sendiri. Beberapa dari kami ikut menyusup bersama pasukan untuk memberikan pertolongan pertama. Sementara beberapa lainnya termasuk aku di dalamnya bertugas di markas darurat untuk memberikan pertolongan akhir.

“Semoga saja tidak banyak korban tewas ya, semoga Tuhan memihak pada kami. Aamiin.” ujar salah seorang laskar PMI yang belakangan ku ketahui namanya Amir.

“Insya Allah, kita bisa menyelamatkan banyak nyawa prajurit.”

“Ya, berdoalah untuk kelancaran serangan hari ini.”

1 Maret 1949/ 7.00 : Sirine telah membakar semangat laskar. 60 menit berselang para laskar telah maju bergerilya. Sementara kami laskar PMI di sini. Menanti tandu perjuangan datang kemari


Mentari mulai naik sepenggalah. Suasana medan peperangan semakin membara. Makin siang makin panas saja. Suasana di markas semakin kacau. Satu per satu laskar berjatuhan. Ada yang tewas, ada pula yang sementara masih sanggup bertahan. Tandu-tandu perjuangan silih berganti datang lalu pergi lagi.

“Arggh…” salah seorang laskar terlihat berteriak kesakitan. Kulihat kakinya terluka cukup parah akibat ledakan granat KNIL.

“Tidak apa-apa, tenanglah. Akan segera kuhentikan aliran darahnya.” kataku menenangkannya sambil menyuntikan bius ke lengan tangannya sehingga ia dapat istirahat dengan tenang.

“Hey, kita kekurangan kantong jenazah” ucap salah seorang laskar PMI dari belakang kepadaku, dia ternyata Amir.

“Sebentar, sepertinya masih ada cadangan. Biar aku saja yang mengambilkan. Kau tunggu di sini saja.”

“Siap, akan kutunggu di sini.”

Aku segera menuju keluar mencari kantong cadangan. Saat aku kembali, aku melihat Amir sedang duduk di samping laskar sambil membaca buku harianku.

“Ehh, maaf. Aku tidak sengaja melihat buku ini tergeletak lalu aku ambil dan baca sebentar.” katanya gugup.

“Santai saja, tidak apa-apa. Ini sudah ada kantong jenazahnya” kataku sambil menyerahkan setumpuk kantong semi plastik padanya.

“Baik, terima kasih banyak. Ehh, itu buku harian anda bagus juga. Sudah lama ya anda ikut bergerilya?” tanyanya penasaran.

“Iya, aku mulai bergabung setahun lalu saat agresi yang pertama. Saat Republik ini tiba-tiba diserang oleh mereka.”

1 Maret 1949/ 10.00 : Para laskar berjatuhan. Tandu-tandu perjuangan silih berganti datang dan pergi. Aliran darah para laskar yang tak kunjung berhenti. Menambah beban kami para laskar PMI.


Jarum pendek menunjuk angka satu. Satu per satu laskar kembali ke garis belakang Distrik Kembang. Entahlah, aku tak tahu apa yang sudah terjadi. Kabarnya serangan telah usai. Para laskar gerilya sudah diperintahkan mundur oleh Letkol Ventje. Kami berhasil kali ini walau hanya menguasai ibukota selama enam jam saja. Namun kabarnya kami berhasil menunjukkan pada dunia secara tidak langsung melalui delegasi UNCI bahwa TNI masih ada. TNI belum musnah, begitu pula dengan Republik Indonesia. Tubuhku serasa ringan saat itu, seringan kapas. Terhuyung terpaan angin tengah hari. Kepalaku tiba-tiba pening, dari jauh para laskar berlarian menjauhi tenda. Apa yang terjadi? Brukk, tiba-tiba tubuhku terjatuh di tanah Yogyakarta.

Perlahan aku mulai membuka mataku. Sayup-sayup kulihat buku harianku masih terbuka di tanganku. Aku berada di suatu ruangan yang aku sadari ternyata adalah rumahku sendiri. Masih dalam keadaan duduk, dengan tumpukan buku di sampingku. Jarum pendek menunjukkan pukul 4.00, ibuku sepertinya masih tidur di kamarnya. Aku baru menyadari semua yang terjadi tadi hanyalah mimpi tatkala aku melihat kalender di dinding kamarku yang menampilkan bulan Maret 1957. Mimpi yang sangat nyata sebab aku sendiri pernah mengalaminya. Sepertinya aku kembali memimpikan perjuanganku dulu sebab membaca kembali buku harianku yang belakangan kutemui di kolong ranjangku. Aku segera bangun dari ranjangku, mengumpulkan nyawa kemudian bergegas mengambil wudhu. Setelah tahajud, dengan segera aku menekan tombol power radio usangku, mendengarkan kabar Republik baru-baru ini.

“Selamat pagi para pendengar dari sabang sampai merauke. Masih dengan kami RRI Sulawesi. Kabar pagi menyapa Anda kembali hari ini 5 Maret 1957. Berita kali ini datang dari Sulawesi Selatan tepatnya di Makassar. Tepatnya tiga hari yang lalu, Jumat, 2 Maret 1957 mantan komandan Wheikreiss III membacakan naskah proklamasi dalam situasi yang disebutnya Staat van Orlog en Beleg (SOB), yang artinya “negara dalam keadaan darurat perang”. Proklamasi ini digadang-gadang dan diwaspadai sebagai ancaman separatis di Indonesia bagian timur. Saluran resmi RRI Sulawesi melaporkan.”

Dibuat 24 Agustus 2017, sebagai tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas 12. Fiksi. Terinspirasi oleh Kisah Kolonel Ventje Samuel yang memberontak pada PRRI Permesta.

Tags:cerpencerita-pendekbahasa-indonesiasejarahsastra
Rezky Yayang (@rezkyyayang)